Beberapa waktu lalu saya melihat konten dari @davidgan189 di Instagram. Pembahasannya cukup relatable, terutama buat kita yang pernah merasa dijauhi atau disudutkan tanpa alasan yang jelas.
Dia bilang,
"Gimana kalau ada orang bermasalah sama kita terus ngehasut orang lain untuk ikut benci sama kita? Lo tau gak kenapa mereka ngajakin orang lain buat bermasalah juga sama elo? Karena kalau rame-rame berarti dia yang paling bener. Sedangkan orang pinter selalu ngecek cerita, itu dari dua sisi. Jadi kalau temen-temen elo gampang dihasut, mungkin mereka memang kurang pinter, aja!"
Dan kalimat itu... langsung klik.
Saya jadi ingat satu kejadian beberapa tahun lalu. Waktu itu saya tergabung di sebuah komunitas kreatif. Awalnya semua terasa hangat dan akrab, sampai suatu hari, ada satu orang yang mendadak dingin. Lalu tanpa saya tahu kenapa, orang-orang di sekelilingnya juga ikut berubah sikap terhadap saya. Bukan cuma menjauh, tapi semacam... menghindar.
Lucunya, saya gak tahu salah saya apa. Gak ada percakapan terbuka, gak ada konfrontasi. Tiba-tiba saya seperti jadi 'musuh bersama' tanpa diadili secara adil.
Manusiawi ga sih kalau awalnya saya bingung. Lalu sakit hati.
Tapi seiring waktu, saya mulai belajar: ternyata gak semua orang cukup dewasa buat memverifikasi cerita sebelum percaya.
Orang-orang yang ikut-ikutan benci tanpa tahu cerita sebenarnya, seringkali lebih butuh “rasa ikut memiliki” dibandingkan kebenaran. Dan orang yang memulai itu semua? Mungkin sedang tidak percaya diri, atau sedang merasa perlu jadi pusat perhatian dengan menggiring opini negatif.
"The smartest people don't make decisions based on one side of the story."
— Unknown
Dan saya percaya kutipan itu.
Bahwa orang yang cerdas dan punya integritas gak akan langsung ikut-ikutan. Mereka akan tanya, akan cari tahu, dan kalaupun akhirnya gak berpihak pada saya, setidaknya mereka punya alasan yang matang.
Pelajaran pentingnya:
Kualitas seseorang bisa dilihat dari seberapa mudah dia dihasut. Dan kualitas pertemanan bisa diukur dari seberapa mau teman kita berpikir kritis, bukan cuma ikut arus.
Sekarang saya gak lagi kecewa kalau ada yang menjauh hanya karena ‘katanya’. Saya belajar untuk gak mengambil hati, apalagi menyimpan dendam. Karena dalam hidup ini, kita gak bisa mengontrol sikap orang lain—tapi kita bisa memilih cara merespons.
Alih-alih balas benci, saya memilih menjaga jarak.
Alih-alih sibuk klarifikasi, saya memilih memperbaiki kualitas diri saya sendiri.
Karena pada akhirnya, waktu dan konsistensi akan bicara lebih lantang daripada pembelaan satu kali.
Dan yang lebih penting:
Saya jadi lebih bijak dalam memilih lingkungan. Yang saya butuhkan bukan sekadar teman banyak, tapi teman yang bernalar. Yang bisa diajak duduk, ngobrol, bahkan berbeda pendapat tanpa harus saling menjatuhkan.
Penutup:
So, kalau kamu sedang ada di posisi yang sama—dianggap ‘bermasalah’ hanya karena satu versi cerita—tenang. Bukan kamu yang salah. Bisa jadi, memang kapasitas orang di sekitarmu belum cukup untuk bersikap dewasa.
Tetaplah bertumbuh, tetaplah jadi versi terbaik dari dirimu.
Karena kita gak harus sempurna untuk jadi baik.
"Stay kind. Even when people choose to misunderstand you."
— Morgan Harper Nichols
Komentar
Posting Komentar